Magi Diela merasa sangat rendah layaknya seekor binatang. Ditarik-tarik, dinaikkan ke kendaraan untuk dibawa dari satu tempat ke tempat lain. Binatang akan ditikam untuk menjadi persembahan upacara dan pada akhirnya masuk perut manusia. Magi membayangkan bahwa dia juga sedang ditikam habis harga dirinya, lalu dia akan masuk kek perut seorang yang serakah ingin mengawininya dengan paksa
Matanya memanas… Ke mana semua orang? Mengapa bahkan Tuhan pun tidak mendengar teriakan yang terus keluar dari mulut Magi, “Lepaskan saya. Lepaskan saya…” Apa dosa yang sudah dilakukannya sampai semesta menjatuhkan hukuman seperti ini kepadanya? Sampai bumi mencekik lehernya lewat tangan Leba Ali yang tidak berperikasihan?
Ama sayange, Sa minta maaf karena sudah menjadi anak perempuan untuk Ama. Seandainya sa lahir sebagai laki-laki, mungkin cerita kita akan berbeda.
Biarlah juga memang tidak ada yang menolongnya, Magi akan meninggalkan suara tangis yang akan menghantui siapa pun mereka yang mendengarnya. Sampai liang lahat, Magi berdoa bahwa mereka tidak akan pernah malupakan bagaimana suara tangisnya hari ini membelah cakrawala.
Mengapa perbuatannya menyelamatkan sahabat sendiri dianggap dosa sementara perlakuan bejat Leba Ali dianggap memuliakan adat?
Sa senang dan bersyukur dengan sa punya keluarga. Tapi kadang, setelah melahirkan Dani, sa merasa hilang jati diri. Orang panggil sa Mama Dani. Pergi su si Lawe dari muka bumi. Tidak ada lagi Lawe. Pelan-pelan nama itu akan gilang, orang lupa sa pung nama.
Kalau bulan lalu ko kasih sa pung air nata tupah ke muka bumi, ko kasih sa bulan paling hitam yang ada di dunia, sa tahu itu bukan akhir. Karena sekarang sa ada lihat cahaya. Sa punya banyak teman yang akan mendukung sa punya jalan. Sa pung bulan akan kembalu terang.
Dua kali sa lolos dari maut. Tapi leluhur terus kasih sa pung air mata jatuh. Sampai kapan sa dan perempuan lain di sa pung tanah ini akan terus menangis?